Contact Form

Name

Email *

Message *

Sunday, February 23, 2014

Bocornya catatan harian Anas Urbaningrum saat di KPK

hefi ahmad



''Catatan Harian Anas Urbaningrum (Bagian 1)

Jumat, 10 Januari 2014. Kamar agak luas. Lumayan untuk ukuran kamar tahanan dibanding yang saya bayangkan, seperti kamar waktu dulu indekos di Surabaya atau Jakarta. Tempat tidurnya kecil, cukup untuk satu orang. Ada kamar mandi dan toilet yang dibatasi tembok. Ada pula wastafel dan rak piring kecil. Pokoknya mirip kamar indekos mahasiswa.
Penjaganya adalah pensiunan tentara yang baru direkrut. Namanya Timur Pakpakhan, orang Siantar, yang sejak 1978 masuk Jakarta. Kami ngobrol santai ngalor-ngidul, termasuk cerita-cerita di kalangan militer dan politik. Kesan saya, dia orangnya enak.
Ketika masuk, saya langsung disambut beberapa penghuni yang sudah lebih awal bermukim di sini. Sebut saja Rudi Rubiandini. Malah, saya dapat pinjaman sarung, sajadah, dan handuk, sambil menunggu kiriman dari rumah. Ada pula Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dan Budi Santoso, yang memperkenalkan diri sebagai teman Djoko Susilo. Mereka kompak bilang selamat datang.
"Sabar saja, Mas," begitu pesan dan nasihat mereka.
Tentu, saya sudah membayangkan akan ditahan ketika berangkat dari rumah. Alhamdulillah, ketika pamit kepada Tia, saya sudah dibekali dengan kalimat dukungan ikhlas, ridho, dan doa agar kuat. Memperjuangkan keyakinan tidak bersalah di medan yang berat adalah tantangan tersendiri. Apalagi di KPK, lembaga yang dianggap selalu benar dan hampir tanpa kritik, karena kritik kepada KPK dianggap sebagai pro-koruptor. KPK memegang kekuasaan yang nyaris absolut. Modal ridho dan doa dari istri buat saya adalah energi tersendiri yang spesial nilainya.
Seperti yang saya sampaikan ketika ke luar pintu KPK dengan baju kebesaran tahanan, yang tanda tangan surat perintah penahanan adalah Abraham Samad, Ketua KPK yang gagah perkasa karena sering mengatakan hanya takut kepada Tuhan. Abraham adalah calon komisioner KPK yang menjelang fit & proper test di DPR datang ke Durensawit, tengah malam, untuk meminta dukungan. Abraham datang diantar Salahuddin Alam, teman saya di Partai Demokrat asal Sulawesi.
Malam itu, tanpa saya minta, Abraham menyampaikan komitmen untuk saling dukung dan saling menjaga sebagai sesama anak muda. Ternyata, di dalam proses saya menjadi tersangka terdapat peran serius Abraham, yang bahkan menyampaikan harus pakai cara kekerasan. Istilah yang dipakai adalah "pakai kekerasan dikit". Tentu saja dalam kalimat itu terkandung makna memaksa atau pemaksaan atau keharusan. Entah maksudnya memaksa dari segi waktu atau dari segi substansi perkara yang disangkakan.
Surat perintah penahanan disampaikan dan diberikan oleh penyidik yang memeriksa. Rupanya sprindik ada dua, yaitu No 14 dan No 14 A tanggal 22 Februari dan 15 Maret 2013 . Ketua tim adalah Bambang Sukoco dan di dalam tim itu ada penyidik senior dari Polri, Endang Tarsa. Di dalam sprindik No 14-A itulah Nama Endang Tarsa tercantum. Jadi, jumlah penyidik cukup banyak. Kalau tidak salah sepuluh orang, yakni empat penyidik pada sprindik No 14 dan enam orang pada sprindik No 14-A. Kedua sprindik itu di teken oleh Bambang Widjojanto.
Dijelaskan oleh Endang Tarsa bahwa sprindik No 14-A terbit untuk membantu tim penyidik dalam perkara sprindik No 14. Membantu tentu maknanya memperkuat karena tim sebelumnya dirasa belum cukup. Istilah Endang: "Saya hanya membantu Pak Bambang Sukoco."
Saya lirik, Bambang hanya tersenyum mendengar keterangan Endang.
Dalam tim penyidik pertama berdasarkan sprindik No 14 ada nama Bakti Suhendrawan, yang kabarnya adalah teman Agus Harimurti Yudhoyono di SMA Taruna Nusantara, Magelang. Fakta itu dibilang menarik bisa, dibilang biasa-biasa saja dan kebetulan juga bisa.
Pada kesempatan awal, saya bertanya tentang frasa "dan atau proyek-proyek lainnya" di dalam surat pemanggilan dan ternyata kata-kata itu berdasarkan pada sprindik yang diteken BW itu. Baik pada sprindik No 14 maupun pada sprindik No 14-A bunyi kalimatnya sama. Endang menjelaskana bahwa memang dasar surat panggilan berawal dari sprindik dan itulah simpulan gelar perkara. Hal itu tidak perlu dijelaskan di surat panggilan, cukup di jelaskan ketika pemeriksaan.
Ketika saya desak, apa itu maksudnya, dia menjawab, misalnya proyek pembangunan gedung Biofarma, pembangunan universitas-universitas, pembangunan gedung pajak—sesuatu yang saya tidak tahu maksudnya.
Saya menyampaikan usulan dan permintaan. Jika itu yang dimaksud, agar disiapkan surat pemanggilan baru yang secara jelas menyebutkan nama-nama proyek tesrebut. Tetap saja tidak bisa, katanya. Karena dasarnya dari sprindik dan saksi-saksi sudah dipanggil dengan bunyi kalimat tersebut.
Kemudian penyidik lain, Salmah, membawakan contoh surat kepada saksi. Intinya, pokoknya tidak bisa, karena sudah sesuai prosedur dan sprindik. Meskipun berkali-kali saya katakan itu sebagai terobosan dan tidak melanggar aturan serta tidak bertentangan dengan sprindik, bahkan sebagai upaya kerja sama, tetap saja ditolak.
Endang tarsa adalah penyidik senior yang juga Pelaksana Tugas Direktur Penyidikan KPK. Tentu saja pengalamannya panjang dan dianggap bisa menangani kasus saya sesuai arah keputusan KPK. Saya tidak tahu apakah ada pejabat setingkat direktur penyidik yang "turun gunung" menjadi anggota dari anak buahnya sendiri. Tentu saja ini kehormatan, karena untuk kasus gratifikasi Harrier dan atau yang lain-lain diturunkan penyidik senior kelas tinggi.
Tetapi, yang tidak saya sangka-sangka, Endang sempat bertanya tentang PPI. "Sudah ada di mana saja?" begitu dia bertanya sambil bilang bahwa hal itu untuk pengetahuan saja.
Tentu pertanyaan menarik itu saya jawab juga. Karena, tidak ada yang rahasia dan perlu disembunyikan tentang PPI.
Ketika saya tanya tentang identitas Bambang Sukoco, dia menyebut sebagai alumni Yosodipuro. Tentu saya mengerti yang dimaksud, yakni markas HMI Cabang Solo. Dia bilang pernah menjadi bendahara pada zaman Adib Zuhairi menjadi Ketua Umum HMI CabangSsolo. Bambang mengaku kenal Johny Nur Ashari, Kholiq Muhammad, Yulianto, Dwiki Setiawan, serta beberapa teman saya dari HMI Solo.
Ada kesan, Bambang agak segan. Bahasa tubuhnya kurang nyaman dan sering menunduk.
Saya bilang kepada Bambang, tidak perlu memanggil “Pak”, panggil saja “Mas”. Dia bilang, " Iya, Pak. Iya, Mas." Kadang panggil “Mas”, kadang panggil “Pak”. Terasa benar agak kikuk, meskipun saya berusaha mencairkan suasana agar santai. Kalau benar dia alumni HMI Solo seangkatan Adib Zuhairi, pasti dia agak tahu tentang saya zaman itu. Tetapi, saya menghormati posisi dan tugasnya sebagai ketua tim penyidik kasus saya. Sebagai penyidik yang berawal dari kepolisian dan sekarang sudah menjadi pegawai tetap KPK, Bambang tengah menjalani tugas dari pimpinan.
Ketika saya tanyakan, "Kok bisa saya jadi tersangka gratifikasi Harrier?” Dia hanya tertawa.
"Kok aneh, saya bisa jadi TSK di KPK untuk kasus gratifikasi Harrier?” Dia tertawa lagi.
Buat saya, tawa bambang punya makna besar dan saya yakin hatinya bergejolak.
Yang jelas, hari ini, Jumat, 10 Januari 2014, saya ditahan di lantai bawah KPK. Pasti ada yang senang dan bahagia dengan penahanan ini. Ada pula yang bersedih. Ada yang tertawa. Ada yang menangis. Itulah dua sisi kehidupan yang tak terpisahkan. Saya harus memandangnya biasa saja, karena pasti tidak ada yang kekal. Semua akan berganti. Semua akan berlalu. (Bersambung)

BIKIN KPK Kalap karena tahu boroknya


''Catatan Harian Anas Urbaningrum (Bagian 2)

Sabtu, 11 Januari 2014. "Pak Haji, sudah jam empat pagi," begitu suara keras Timur Pakpahan membangunkan saya.
"Iya, Bang, terima kasih," saya menyahut.
Saya memang berpesan kepada Timur untuk membangunkan kalau sudah jam empat pagi. Alhamdulillah, permintaan itu dipenuhi dengan baik.
Malam pertama ditahan ternyata tidur saya nyenyak. Bahkan lebih awal tidur dari waktu biasanya. Jika hari-hari biasanya tidur jam satu dini hari ke atas, tadi malam saya sudah tertidur sekitar jam 23.00. Tidur pulas, tidur berkualitas. Kok bisa? Rupanya Gusti Allah kasih anugerah tidur pulas berkualitas.
Setelah salat subuh, kembali saya tidur. Sekitar jam tujuh, saya bangun karena ada suara Timur lagi. Dia mengenalkan petugas jaga penggantinya. Namanya Thohari, orang Trenggalek. Sama dengan Timur, rupanya Thohari adalah pensiunan tentara.
"Kulo asli Trenggalek, Pak Anas," begitu Thohari mengenalkan asalnya.
"Nggih, tonggo dhewe," saya merespons dengan bahasa Jawa. Dia juga menyebut bertetangga dengan Priyo Budi santoso di Trenggalek.
Muncul pula Rudi Rubiandini, masih pakai kopiah putih. Rupanya mau mengaji. setelah berbaik hati kemarin malam meminjamkan sajadah, sarung, dan handuk. Hari ini, saya dipinjamkan buku-buku dan majalah. Alhamdulillah. Terima kasih, Prof.
Ada buku Tadabbur Al Quran, Obat Penawar Hati yang Sedih, majalah Trubus, Time, dan Traveller. Sungguh buku dan bahan bacaan menjadi teman berharga di tahanan.
Buku dan bacaan adalah menu untuk pikiran. Salat dan zikir bagiannya hati. Lalu, bagaimana dengan urusan perut ? Terus terang tadi malam saya sengaja tidak makan. Soalnya, kiriman makanan karena satu dan lainnya hal belum bisa sampai. Hanya kiriman pakaian, roti, dan air minuman kemasan yang tiba. Di ruang pemeriksaan, saya tidak makan, tidak minum, meskipun disediakan. Di dalam ruangan tahanan juga ada jatah makan malam: nasi merah, sayur, dan telur rebus. Saya hanya ambil telur rebusnya. Alhamdulillah, Rudi memberi saya roti, wafer, dan kue mirip kue bolu. Itu yang, bismillah, saya sikat. Bukan urusan lapar atau tidak lapar. Ini hanya urusan berhati-hati. Berhati-hati saja kadang kala terpeleset, apalagi kalau ceroboh.
Sebagai tahanan, pagi ini saya dapat jatah kue nagasari. Ada tiga biji dikemas dalam kotak plastik. Sebetulnya kue nagasari termasuk enak dan favorit saya, tetapi saya tidak sentuh. Sisa wafer tadi malam saya habiskan. Tetapi yang namanya rezeki kalau mau datang, ya, datang saja.Rupanya Budi Santoso dan Rudi sarapan bareng. Saya dapat kiriman nasi bungkus ikan cakalang. Saya tidak tahu dipesan dari mana, tapi yang jelas rasanya maknyus. Terhadap nasi bungkus itu saya husnudzan saja dan menjadi menu sarapan pagi yang bersejarah: makan pagi pertama di ruang tahanan.
Nasi bakar cakalang itu kembali hadir saat makan siang. Berarti ketika sarapan ada stok sisa untuk jatah makan siang. Jatah makan siang resmi dari KPK tidak saya makan. Tentu saja tidak boleh mubazir dan ada caranya agar tidak mubazir dan tetap bermanfaat. Makan siang makin spesial karena ada minuman cokelat panas. Rupanya Rudi hobinya cokelat panas. Kalau Wawan lebih suka wejang jahe panas.
Jadi untuk urusan makan minum, alhamdulillah, tidak ada masalah. Para senior, Prof Rudi, Kang Wawan, dan Mas Budi berbaik hati. Mungkin kasihan ada yunior yang belum bisa dapat kiriman dari keluarganya. Selebihnya pasti karena terpanggil perasaan senasib dikurung di lantai bawah Gedung KPK.
Hari ini pula saya sempat baca koran. Tentu saja, semua berita utamanya tentang Anas, dengan gaya penulisan masing- masing dan arah politik redaksinya sendiri-sendiri. Foto yang paling dramatis ada di Koran Tempo. Gambarnya adalah Anas yang kaget dilempar telur. Gambarnya menarik dan dramatis. Lalu, saya teringat peristiwa tadi malam. Selain memberi keterangan pers sedikit sebelum masuk ke ruang tahanan, dalam kondisi terjepit dan berdesak-desakan ada orang memukul pakai telur. Tangannya hanya sedikit menyentuh kepala, telurnya yang telak. Rasanya seperti keramas pakai telur. Inilah yang boleh disebut Jumat Keramas.
Sesampai di Posko Rutan KPK, saya tanya, siapa tadi yang memukul pakai telur. Tidak ada yang tahu siapa orangnya. Saya hanya pesan kepada petugas keamanan KPK yang mengantar saya agar yang bersangkutan jangan diapa-apakan. Saya khawatir ada yang memukul balik. Dari koran baru ketahuan, yang bersangkutan bernama Aryanto, Ketua LSM Gempita, Palmerah, Jakarta Barat. Apa pun motifnya, apakah inisiatif pribadi atau ada yang menyuruh, Aryanto tidak perlu diapa-apakan. Saya mendoakan semoga apa yang dilakukan itu mendatangkan kepuasan bagi dirinya atau pihak yang memesannya—jika ada. Hikmahnya adalah saya mandi keramas, rambut jadi bersih. Jumat Keramas! (Bersambung)


''Catatan Harian Anas Urbaningrum (Bagian 3)

Sabtu, 11 Januari 2014. Tentu saja normal kalau saya bersedih atas hilangnya kebebasan di ruang tahanan. Tidak bisa berinteraksi normal dengan istri, anak-anak, dan keluarga besar. Tidak bisa bergaul dengan teman-teman dan para sahabat. Ruang hidup menjadi sempit, dibatasi tembok, pintu, petugas jaga, dan kewenangan penyidik. Ringkas kalimat, irama kehidupan berganti dari merdeka menjadi tidak merdeka. Status tahanan, berbaju kebesaran tahanan KPK, ditempatkan di kamar yang untuk sementara tidak boleh keluar sama sekali—makan, minum, mandi, salat, dan tidur di tempat yang sama. Transformasi drastis dari kesempatan menjadi kesempitan.
Alhamdullilah, sedihnya adalah sedih biasa. Bukan sedih yang tak terkendali. Tidak perlu murung, marah-marah, atau bersungut-sungut. Sedih manusiawi yang harus dikelola menjadi energi positif. Saya meyakini ini adalah suratan takdir yang telah ditulis Gusti Allah dalam ketetapan-Nya. Ya, harus dilalui, dihadapi, dilewati dengan ikhlas dan penuh ikhtiar mencari dan menemukan keadilan. Tidak ada selembar daun pun yang jatuh tanpa pengetahuan dan ketetapan Tuhan, apalagi atas diri seorang manusia bernama Anas. Pasti semuanya sudah sesuai tulisan takdir Tuhan.
Saya teringat ayat Tuhan, "Apa yang tidak kamu sukai belum tentu buruk buat kamu." Kira-kira intinya begitu. Saya berusaha husnudzan semoga peristiwa ini menjadi jalan untuk menemukan ilmu dan hikmah yang diajarkan Tuhan di tempat-tempat sempit dan jauh dari kesenangan dan kenyamanan.
Sabar menjadi penting. Katanya, sabar itu bagian penting dari iman. Sabar terhadap musibah, kesedihan, kekurangan, kesempitan, ketakutan adalah ajaran iman yang penting. Orang baru berteori dengan sabar ketika belum dapat musibah. Ketika datang musibah, sabar menantang untuk dipraktikkan.
Di ruang tahanan ini ada kesempitan, di tempat lain mungkin ada kesempitan yang lebih. Di sini ada kesedihan. Di tempat lain pasti ada kesedihan juga. Di sini ada ketidaknyamanan, di tempat lain menyebar pula ketidaknyamanan. Bahkan mungkin di tempat-tempat kesenangan dan kekuasaan, di sini ada pula ketakutan dan ketidaknyamanan, karena tenang adalah urusan jiwa. Di tempat yang tenang dan nyaman belum jaminan ada jiwa yang tenang pula. Barangkali banyak yang tidak bisa tidur pulas, tidak seperti nikmat yang saya rasakan di ruang tahanan ini pada malam pertama. (Bersambung)


''Catatan Harian Anas Urbaningrum (Bagian 4)

Ahad,12 Januari 2014. Malam tadi, Thohari diganti oleh orang Kalasan, Yogyakarta, yang tinggi, besar, tegap, dan berkepala plontos. Namanya Surajan. Pagi ini kembali ada pergantian petugas jaga. Kali ini orang asli Nganjuk bernama Warseno. Semuanya sama, eks tentara, tepatnya polisi militer di Guntur, Jakarta. Sebelum pergi, Surajan menitipkan bungkusan plastik. "Ini titipan dari Pak Fathanah untuk Pak Anas," katanya sembari pamit dan mengenalkan petugas jaga yang baru, Warseno.
Dari Warseno, saya dapat informasi masih ada dua orang lagi yang bertugas bergantian. Namanya Amir Ishak dan Damuri. Warseno orangnya juga enak dan grapyak, khas orang Jawa Timur. Dari Warseno, saya sempat pinjam alat pel untuk bersih-bersih lantai. Biar lebih bersih dan segar.
Budi sempat melihat dan melontarkan ledekan. Dia meledek sambil menawarkan diri untuk mengepel. Saya jawab, sebagai bekas anak indekos, urusan bersih-bersih lantai bukanlah hal yang asing.
Dia lalu bertanya, apakah saya pernah membaca buku tentang Mandela. Saya menjawab, pernah menonton filmnya. Dia menasihati saya agar tenang dan sabar sebagai “tapol” (tahanan politik). Saya tidak tahu kenapa dia menyebut saya tapol.
Bagi siapa saja yang berada dalam tahanan, merasa kemerdekaannya diambil, sambil menasihati untuk tenang dan sabar adalah hal penting dan relevan. Dia bilang, zaman berputar. Saya jawab, semua akan berlalu.
Dia bilang, siapa yang zalim akan dapat karmanya. Saya jawab, akan kembali kepada dirinya atau anak keturunannya, bisa langsung atau tidak langsung; bisa tunai, bisa juga dicicil.
Budi bilang, kalau umur panjang, ia akan melihat bagaimana karma itu bekerja. Saya menjawab, tidak usah menunggu dan mengharapkan begitu, karena semua berlaku atas ketentuan Tuhan. Kalau Tuhan menimpakan mudarat kepada makhluk-Nya, siapa pun tak dapat menghalangi. Kalau Tuhan mendatangkan rahmat, juga tidak bisa dicegah oleh kekuatan apa pun. Tetapi, saya setuju karma akan datang, tidak perlu dijemput atau diberitahu alamatnya, karena sudah punya alamat masing-masing yang akan didatangi.
Rupanya, media massa menjadikan Anas sebagai berita utama. Ada berita tentang kiriman makanan dan surat dari Tia yang ditolak petugas. Ada berita tentang tantangan KPK kepada Anas untuk bicara tentang keterlibatan Ibas (Edhie Baskoro Yudhoyono) kepada penyidik.
Kata Johan Budi, pernyataan harus disertai fakta dan bukti. Jangan asal ngomong. Tentu saja apa yang disampaikan Johan Budi itu benar adanya. Meskipun begitu, tidak bisa dihindari kesan melindungi Ibas. Sama dan sejalan dengan beberapa pernyataan dia sebelumnya. Kalau keterangan menyangkut Ibas selalu dijawab harus divalidasi dulu. Tidak harus dipanggil karena harus divalidasi dulu. Wajar saja, karena Ibas adalah anak presiden. Tidak mungkin anak presiden tidak mendapat perlakuan khusus.
Sama dengan Abraham yang berkali-kali statement-nya mirip dengan lawyer. Pernyataan Ketua KPK itu jika dicermati sudah menempatkan dirinya sebagai benteng hukum atau pengacara Ibas. Bahkan, pada suatu kesempatan malah menyerang Yulianis, seorang saksi, yang ia sebut sebagai orang aneh. Dibilang aneh karena hanya bicara dan tidak pernah tertuang ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Meskipun itu kemudian diprotes oleh Yulianis dan dinyatakan sudah termuat di dalam BAP, Abraham belum pernah berani merespons protes Yulianis tersebut.
Di media juga dibahas pernyataan yang katanya tidak lazim. Ucapan terima kasih saya dianggap statement kontradiktif atau kode-kode. Silakan saja dibahas dan dianalisis seperti apa.Kata-kata saya itu sudah menjadi milik publik dan bebas dipandang dari berbagai sudut, tergantung pada siapa yang melihatnya. Tafsirnya bebas dan demokratis.
Ucapan terima kasih kepada Ketua Abraham Samad layak disampaikan karena pada akhirnya saya ditahan juga. Berita tentang rencana penahanan saya sudah banyak pada bulan Ramadan (2013) silam. Waktu itu disampaikan kepada publik bahwa penahan akan dilaksanakan setelah Lebaran. Lalu ada perubahan alasan, ditahan setelah selesai audit Investigasi BPK. Ternyata belum juga ditahan. Kemudian ada pernyataan beberapa kali yang intinya minggu depan dan minggu depan.
Karena belum juga ditahan, para wartawan tetap rajin memburu pernyataan pimpinan KPK. Jawabannya, pokoknya nanti akan ditahan. Begitu penjelasannya. Karena belum ditahan juga, kemudian muncul alasan kekhawatiran kalau ditahan malah bisa bebas demi hukum. Sambil jalan kemudian lahir wacana ditahan sebelum akhir tahun 2013 dan belakangan ada alasan karena ruang tahanan di KPK sedang penuh. Lalu ada pernyataan lain menunggu selesainya pembangunan Rutan (Rumah Tahanan) KPK di Guntur serta serahterimanya kepada KPK. Bahkan, Tempo pernah merilis foto calon ruang tahanan untuk Anas di Guntur.
Jadi, ketika Jumat, 10 Januari 2014, terbit surat perintah penahanan yang diteken Abraham Samad, segala ketidakpastioan dan silang-sengkarut alasan tentang belum ditahannya Anas selesai sudah. Wartawan dan saya tidak perlu lagi bertanya-tanya kapan dan di mana akan ditahan. Kita boleh khawatir karena makin banyak alasan penundaan penahanan serta alasan yang berubah-ubah dan berbeda-beda akan menurunkan kredibilitas sang pembuat alasan. Saya sendiri juga tidak lagi dikejar-kejar pertanyaan tentang kesiapan ditahan dan sejenisnya.
Jadi, ucapan terima kasih itu saya sampaikan karena Abraham telah membuat dan meneken surat yang membuat pasti kapan dan di mana saya ditahan. Kepastian untuk saya, untuk keluarga saya, untuk media, dan bahkan kepastian untuk Abraham sendiri. (Bersambung)


''Catatan Harian Anas Urbaningrum (Bagian 5)

Ahad,12 Januari 2014. Mengapa ucapan terima kasih juga kepada Endang Tarsa dan Bambang Sukoco? Karena, keduanya sebagai penyidik yang melaksanakan penahanan. Keduanya yang tanda tangan berita acara penahanan. Endang memulai dengan kalimat, “Tidak enak ini saya sampaikan kepada Pak Anas.”
Saya langsung potong dengan jelas agar mereka menyampaikan kepada saya tugas untuk menahan. Perhitungan saya memang akan ditahan pada hari ketika saya datang ke KPK.
Wajah Endang kelihatan agak gugup ketika menyampaikan hal itu. Lebih gugup lagi adalah Bambang yang ketika itu tidak berkata-kata. Menurut saya, mestinya Bambang sebagai ketua tim yang menyampaikan. Entah mengapa Endang yang menjadi jubirnya. Mungkin karena senior atau faktor lain.
Terima kasih karena mereka berdua sudah mengeksekusi penahanan saya berdasarkan surat perintah penahanan yang diteken Abraham. Saya hargai, meskipun kelihatan agak gugup dan tidak enak hati, keduanya melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai perintah pimpinan.
Sebetulnya ada lagi penyidik, M Rifai, polisi asal Grobogan, Jawa Tengah, yang ikut nimbrung ngobrol soal penahanan. Lalu, ada juga perempuan penyidik, Salmah, yang sejak awal masuk-keluar ruang pemeriksaan untuk koordinasi dengan Endang dan Bambang. Penampilannya dingin tanpa seutas senyum. Dari mereka berempat, Salmah yang paling tampak tampil sebagai penyidik.
Lalu apa kaitan ucapan terima kasih dengan Heri Muryanto? Dia adalah ketua tim penyelidik ketika kasus saya ini mulai dipandang harus diseriusi. Bersama beberapa penyidik lain, dia tugaskan sebagai “juru masak” Harrier menjadi kasus gratifikasi Hambalang.
Penjelasan saya tentang mobil Harrier yang bukan gratifikasi, apalagi dari Adhi Karya yang menggarap proyek Hambalang, kalah dengan cerita palsu Nazaruddin dan pegawainya yang bernama Marisi Matondang. Cerita palsu yang meyakinkan itulah yang oleh Heri dinaikkan menjadi kasus gratifikasi dengan segala liku-likunya, termasuk pembocoran sprindik.
Heri pasti dianggap berjasa dan semoga segera mendapat promosi jabatan. Wajar jika saya mengenang nama Heri Muryanto dan mengucapkan terima kasih.
Pastilah yang paling dibahas dan disorot adalah ucapan terima kasih saya kepada Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Saya berkeyakinan, berdasarkan apa yang saya alami di Partai Demokrat, apa yang saya dengar dan rasakan, dan saya analisis, Pak SBY secara langsung atau tidak langsung punya peran untuk mentransmisikan masalah politik internal Partai Demokrat menjadi masalah hukum di KPK. Pidato politik dan hukum yang dilakukan di Jeddah, Arab Saudi, jelas merupakan tekanan dan intervensi.
Proses pengambilalihan kewenangan saya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dan perintahnya agar saya berkonsentrasi menghadapi masalah hukum adalah penggiringan politik yang nyata bersamaan dengan saat-saat krusial penetapan saya menjadi tersangka. Boleh saja Pak SBY berdalih tidak melakukan intervensi. Bisa saja pernyataan saya ini dibantahnya dengan cara yang paling canggih dan meyakinkan. Atau, dia membantah lewat para pembantu dan pengacaranya, apakah Djoko Suyanto, Ruhut Sitompul, Palmer Situmorang, atau Heru Lelono. Tetapi, Pak SBY dan mereka semua tidak bisa membantah fakta-fakta yang diproduksi oleh Pak SBY sendiri.
Pernyataan dan analisis dapat dibantah, tapi apakah fakta bisa dibantah dan disembunyikan?
Seperti cara Heru Lelono membantah saya lewat wawancara dengan harian Rakyat Merdeka, 12 Januari 2014, halaman 2. Dengan cara yang meyakinkan, Heru membantah Pak SBY intervensi. Kalau Pak SBY intervensi, berarti itu sama saja melecehkan KPK. Ini bahasa yang sering saya dengar di dalam bantahan-bantahan itu.
Bahkan, Heru tak segan-segan berbohong dengan mengaku pernah mengatakan kepada saya—disebutnya "sahabat saya Anas"—bahwa kebenaran ini suatu saat akan terungkap. Sebab, kesalahan itu hanya sementara bisa disembunyikan.
Saya ingat betul dan yakin betul bahwa Heru tidak pernah mengatakan itu kepada saya, apalagi terkait dengan kasus di KPK. Jangankan mengatakan, pernah ketemu atau komunikasi saja tidak. Sejak saya di Partai Demokrat, hanya beberapa kali saya bertemu Heru di Cikeas. Itupun tidak perna bicara serius, hanya menyapa dan ngobrol ringan. Sejak saya di DPR dan Pak SBY menjadi presiden periode kedua, belum pernah saya berkomunikasi dengan yang bersangkutan. Bagaimana dia bisa menyampaikan pesan itu kepada saya, kecuali pesan imajiner? Atau, jangan-jangan, pesan itu sebenarnya untuk orang lain yang dekat dengan dia.
Menjelang tidur, saya sempat ngobrol agak panjang dengan Amir Ishak, petugas jaga yang baru dapat giliran malam. Asalnya dari Kebumen, Jawa Tengah. Orangnya enak, ramah, dan cepat akrab.
"Sabar saja, Pak Anas. Nasib kita sama," begitu nasihatnya.
Dia menjelaskan, maksudnya sama-sama sepi, tak ada hiburan, tak ada tontonan. Bedanya, dia menjaga, saya dijaga. Sebagaimana petugas yang lain, jatah jam jaga adalah setengah hari alias 12 jam. Tugas Amir hari ini akan berakhir pagi nanti jam tujuh.
Saya sabar mendengarkan dia bercerita tentang sejarah politik dan kerajaan zaman dulu. Dengan fasih, dia menjelaskan naik-turunnya kerajaan-kerajaan di Jawa, sejak Tumapel, Singosari, Kediri, Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Datang dan perginya raja-raja Jawa itu dia jelaskan dengan terperinci mirip guru sejarah. Menarik karena wawasan sejarahnya cukup bagus. Saya hanya khusyuk mendengarkan sembari kasih komentar tambahan sedikit-sedikit.
Inti dari sejarah politik kerajaan-kerajaan Jawa dulu adalah politik “bumi hangus”. Setiap pemenang selalu menghancurkan yang dikalahkan. Kerajaan diluluhlantakkan dan yang dianggap berharga dibawa pergi oleh pemenang perang. Pusat kerajaan yang kalah diratakan dengan tanah sehingga yang tersisa tinggal kenangan. Jikapun ada, hanya bekas-bekas reruntuhan atau situs yang tak lagi utuh. Politik bumi hangus dan dendam tak berkesudahan hamper menjadi model politik sampai Indonesia memasuki zaman modern.


Sumber : http://www.matanews.com

Post Comment

0 komentar:

Post a Comment