Contact Form

Name

Email *

Message *

Monday, January 26, 2015

Sekilas Singkat Tentang Dunia Para Muhaddits



Praymuslim - Kehormatan meriwayatkan hadits dilakukan oleh mereka yang dikaruniai bakat-bakat yang luar biasa oleh Allah Swt, Sebelum diakui sebagai periwayat hadits, seorang muhaddits (ahli hadits) harus melewati ujian ketat untuk memastikan kekuatan daya ingatnya, kejujurannya, ,pengetahuannya yang amat luas tentang masalah yang dibahas, kesalehannya, serta sifat dan perilakunya yang tidak tercela. Hanya para alim yang memenuhi semua persyaratan tadi lah yang bisa diakui sebagai perawi (pengumpul atau periwayat Hadist)

Ketika pertama kalinya Imam al-Bukhari datang ke Bagdad untuk  mempelajari dan menekuni pengumpulan hadits, dia pun nendapat ujian dari para ahli hadits di kota itu. Mereka Mengumpulkan 100 hadits sahih, lalu menyusun kembali urutan penyampaiannya dengan cara menukar urutan perawi hadits tersebut. Imam al-Bukhari lalu diminta untuk mengidentifikasi  mata rantai perawi hadits tersebut satu per satu, lalu nenyebutkan kesalahan atau penyimpangannya jika ada.

Imam al-Bukhari mampu menemukan semua pengubahan dalam hadits tersebut. Tanpa rasa takut ia menunjukkan bagaimana hadits-hadits tersebut dikacaukan dan menunjukkan bagaimana memperbaikinya. Para penguji-nya, para ahli hadits terkemuka di Bagdad, terkesan oleh daya ingatnya yang kuat dan oleh rasa ingin tahunya yang besar. Mereka memuji semangatnya terhadap tugas besar yang telah dilakukannya.

Al-Zuhri
Pada masa pemerintahan Khalifah Hisham, muhaddits terkenal Ibnu Shihab al-Zuhri juga diuji dengan ujian yang serupa oleh Khalifah. Khalifah Hisham memintanya menuliskan beberapa hadits untuk putranya. Al-Zuhri meminta bantuan juru tulis dari istana dan mendiktekan 400 hadits. Sebulan kemudian, untuk menguji al-Zuhri, Khalifah memanggilnya kembali ke istana dan mengatakan bahwa keempat ratus hadits yang telah didiktekan oleh al-Zuhri itu hilang. Khalifah meminta al-Zuhri untuk mendiktekannya kembali kepada juru tulis. Al-Zuhri pun mendiktekan kembali. Tidak ditemukan satu pun perbedaan huruf dengan keempat ratus hadits yang pertama didiktekannya.

Rab'i bin Harits
Rab'i bin Harits adalah muhaddits terkenal. Ketika pertama kali diuji kemampuannya untuk menjadi ahli hadits, semua orang dalam kaumnya kawan maupun lawannya—menguji kejujuran dan kesalehannya. Lalu, ada seorang musuhnya yang merasa iri dan bermaksud mencoreng predikatnya sebagai orang jujur. Orang ini pergi menghadap Gubernur Hajjaj bin Yusuf. Ia memberi tahu sang Gubernur bahwa Rab'i bin Harits yang akan dinobatkan sebagai muhaddits, mempunyai dua anak laki-laki yang disembunyikannya di rumahnya. Kedua anaknya disembunyikan untuk menghindari wajib militer.

Dikatakan Rab'i bin Harits ingin menutupi kenyataan ini agar terhindar dari hukuman mati. Dengan cara ini musuh Rab'i bin Harits berharap Rab'i bin Harits akan terjebak untuk berbohong. Hajjaj bin Yusuf memanggil Rab'i bin Harits dan mena-nyakan ihwal kedua anaknya. Rab'i bin Harits menjawab bahwa memang benar kedua anaknya itu disembunyikannya di rumah. Hajjaj merasa terkesan dengan jawabannya itu dan mengumumkan kepada semua penduduk di wilayah kekuasaannya bahwa Rab'i bin Harits adalah orang yang sangat jujur dan dapat dipercaya. Dengan demikian, Rab'i bin Harits diakui sebagai muhaddits.

Abu Hurairah
Imam al-Bukhari menceritakan bahwa Gubernur Marwan pernah ingin menguji ingatan sahabat Nabi, Abu Hurairah ra. Ia mengundang Abu Hurairah agar menghadap dan menyampaikan sejumlah hadits. Pada saat Abu Hurairah menyampaikan hadits, sekretaris Marwan menyalin setiap hadits, kata demi kata, baris demi baris. Setahun kemudian, Marwan kembali mengundang Abu Hurairah dan memintanya mengulang semua hadits yang telah disampaikannya setahun yang lalu. Sekretaris Marwan bersembunyi. Ia menyamakan pembacaan hadits yang kedua kali ini dengan hadits yang telah disalinnya setahun yang lalu. Abu Hurairah membacakan semua hadits tersebut, satu demi satu tanpa ada perbedaan satu huruf pun. Sang sekretaris telah membuktikan hal itu.

Imam at-Tirmidzi
Hal yang diketahui benar tentang Imam at-Tirmidzi—yang kehilangan penglihatannya pada usia tua—adalah beliau tidak pernah berhenti mengajarkan hadits kepada murid-muridnya. Bahkan, ketika sedang mengendarai unta, beliau senantiasa ditemani oleh murid-muridnya itu. Suatu hari, ketika sedang mengendarai unta, at-Tirmidzi berhenti di suatu tempat dan menundukkan kepalanya. Murid-muridnya bertanya mengapa beliau melakukan hal itu, lalu dijawabnya, "Bukankah di situ ada sebuah pohon dan pengendara unta akan terluka oleh dahan-dahannya yang rendah jika tidak menundukkan kepala?" Semua muridnya menjawab bahwa di situ tidak ada satu pohon pun. Imam at-Tirmidzi berkata bahwa dulu pada saat beliau masih bisa melihat, di tempat itu ada sebuah pohon. Jika—setelah mencari tahu kepada penduduk setempat—yakin bahwa di situ tidak pernah ada pohon, dia akan berhenti mengajarkan hadits. Lalu, murid-muridnya mendatangi penduduk yang telah lama bermukim di desa itu dan mendapat jawaban bahwa memang dulu di tempat itu pernah ada pohon. Imam at-Tirmidzi lalu mengucapkan rasa syukur yang tidak terhingga kepada Allah Swt.

Asma al-Rijal (mata rantai periwayat hadits)
Rangkaian ujian yang harus dilalui oleh seorang perawi hadits sebelum dia diakui sebagai orang yang dipercaya untuk menyampaikan hadits merupakan hal yang unik dalam sejarah Islam. Setiap perawi hadits harus membuktikan bahwa,

1. dia adalah orang yang dapat dipercaya, dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat;
2. orang yang menyampaikan hadits kepadanya juga harus orang yang dapat dipercaya, dan diakui oleh semua orang dalam masyarakatnya bahwa dia memang dapat dipercaya;
3. penyampai hadits sebelum penyampai yang kedua juga harus dapat dipercaya, demikian seterusnya.

Rangkaian ini harus sampai kembali kepada Rasulullah saw, sebagai sumber yang langsung didengar oleh penyampai terakhir (pertama dari Rasulullah saw) tanpa perantara. Jika suatu ketika dalam mata rantai periwayat ini ada perantara yang kejujurannya diragukan, atau dalam banyak hal kurang dari 100% suara, dia akan dicoret dan seluruh haditsnya ditolak. Dengan demikian, misalnya dalam 13 rangkaian periwayat, delapan atau sembilan di antaranya bersifat lemah atau meragukan, orang tersebut akan ditolak dan sebagai konsekuensinya haditsnya pun ditolak pula. Imam al-Bukhari telah berkelana ke seluruh Dunia Muslim untuk mencari referensi dan merunut jalur mata rantai perawi. Dia pernah berkelana menempuh tiga atau empat ratus mil untuk menjumpai perawi kedua atau ketiga. Ketika dia sampai di tempat yang dituju, orang yang dicarinya sedang sibuk mengejar seekor kuda. Orang itu mencoba mengiming-imingi kuda itu dengan sebuah ember seolah-olah ember itu penuh dengan makanan, padahal sebetulnya kosong.

Imam al-Bukhari lalu berlalu tanpa mengambil satu hadits pun darinya. Beliau beranggapan jika orang itu berani berbuat curang pada seekor kuda, dia pun dapat berlaku tidak jujur pada hadits. Dengan ketelitian dan kecermatan seperti inilah pengumpulan hadits diteruskan oleh sejumlah kecil cendekiawan yang berdedikasi dari seluruh Dunia Islam.

Hasil pekerjaan mereka kemudian diterima dan dihormati sebagai kewenangan yang tidak dapat diperdebatkan dalam hal pengumpulan hadits. Bersama-sama dengan lima perawi lain (Muslim, at-Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah, dan Abu Dawud), Imam al-Bukhari dikenal sebagai `Silyah Sittah' atau otoritas `Enam Yang Benar.' Para perawi atau penyampai hadits yang terdaftar dalam `mata rantai nama' diperkirakan berjumlah sekitar 500.000 orang, yang tanggal lahir, silsilah keluarga, sejarah hidup, dan sumbangannya pada Islam dicatat di dalam buku hadits. Dari 500.000 ini, 85.000 di antaranya tercatat dalam buku-buku hadits yang paling terkenal.

Kedelapan puluh lima ribu orang ini berkaitan langsung dengan penyampaian hal-hal yang dikatakan, dilakukan, dan disetujui Nabi saw untuk umatnya. Kita patut merasa bangga dan istimewa karena memiliki riwayat hidup 500.000 orang yang berperan sedemikian penting dalam menyampaikan apa yang harus disampaikan Nabi saw kepada umatnya. Itu sebabnya, seorang ahli sejarah dan ahli linguistik berkebangsaan Jerman, Dr. Springer, pada tahun 1854 menyatakan, "Di bumi ini tidak pernah ada suatu bangsa dan tidak akan pernah ada negara seperti halnya negara kaum Muslim, yang dikaruniai buku agung tentang `Asma al- Rijaf yang membuat kaum Muslim terberkahi dengan 500.000 biografi abadi."

Abu Hurairah dan Abdullah bin Amr
Adalah suatu fakta nyata bahwa Rasulullah saw meminta para sahabatnya untuk tidak menuliskan hadits beliau, tetapi lebih berkonsentrasi pada penulisan al-Quran. Hal ini untuk menghindari kesalahan mengutip ataupun menghindari adanya penambahan. Para sahabat sama sekali tidak berani menulis-kan hadits Nabi saw. Namun, beberapa di antara mereka mulai menghafalkan hadits. Pada kemudian hari, ketika sudah tidak ada rasa khawatir adanya kesalahan dalam menuliskan al-Quran, beberapa sahabat memperoleh izin khusus untuk menuliskan hadits.

Penulisan ini bertujuan agar jangan sampai umat Islam kehilangan apa yang telah ditinggalkan Nabi saw untuk umatnya. Anas, Abu Hurairah, dan Abdullah bin Amr adalah beberapa di antara ahli hadits ini. Abu Hurairah mulai menghafalkan segala sesuatu yang didengarnya dari Nabi saw. Dia berkata bahwa dia membagi malam menjadi tiga bagian: satu bagian untuk tidur, satu bagian untuk shalat, dan satu bagian lagi untuk menghafalkan hadits. Lalu, dia mulai menuliskan hadits-hadits itu karena takut lupa. Dia juga selalu membacakan apa yang telah ditulisnya itu di hadapan Nabi saw untuk memastikan tidak ada kesalahan.

Dengan cara ini karyanya itu mendapatkan pembenaran dari Nabi saw Abu Hurairah juga selalu berkata, "Tak ada satu pun sahabat yang dapat menyatakan bahwa dirinya telah menghafalkan hadits sebanyak yang telah kuhafalkan, kecuali Abdullah bin Amr, yang telah menuliskan hadits sejak awal, sementara aku tidak melakukannya sejak awal." Jumlah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah adalah 5.374. Abu Hurairah berkata, "Aku pernah berkata kepada Nabi saw, `Wahai Rasulullah, aku mendengar demikian banyak hadits darimu, tetapi aku tidak dapat mengingatnya.

Nabi saw lalu menyuruhku untuk membentangkan jubahku dan aku melakukannya. Lalu, beliau menjulurkan tangannya yang tergenggam ke dalam jubahku (seolah-olah menawarkan sesuatu). Beliau memintaku untuk mendekapnya. Setelah kejadian itu aku tidak pernah lupa apa pun sama sekali." (al-B ukhari) Abu Hurairah juga meriwayatkan kejadian serupa. "Suatu ketika Nabi saw berkata kepadaku mengenai sebuah khutbahnya bahwa orang yang membentangkan jubahnya ke seluruh tubuhnya, lalu mendekapkannya di dadanya, tidak akan melupakan khutbah tersebut.

Aku pun segera memakai jubahku. Ketika beliau selesai berkhutbah, aku mendekap jubah tersebut di dada. Memang benar, aku tak pernah lupa isi khutbah itu." (al-Bukhari) Abdullah bin Amr yang meriwayatkan lebih daripada 5.384 hadits langsung dari Nabi saw mengumpulkan semua hadits tersebut dalam sebuah antologi (kumpulan karya tulis) berjudul Sadiqa. Suatu hari dia bertanya kepada Nabi saw apakah dia harus menuliskan setiap yang didengarnya dari beliau bagaimanapun keadaannya. Setelah menjawab dengan nada setuju, Nabi saw menunjuk kedua bibirnya dan berkata bahwa tidak ada suatu kebenaran yang tidak keluar dari kedua bibirnya." (al-Bukhari)

Sumber : Jejak Jejak Hadist (khazanah Hadist Dalam Kisah) Oleh M.Atiqul Haque


Post Comment

0 komentar:

Post a Comment